MATERIALITAS MENURUT STANDAR AUDIT , ANALISIS BEBERAPA CELAH
YG MUNGKIN DAPAT MENGURANGI KUALITAS AUDIT AKUNTAN PUBLIK.
1. Paparan Umum
mengenai Materialitas
Materialitas merupakan dasar penerapan
dasar auditing, terutama standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan.
Materialitas adalah suatu pertimbangan penting dalam menentukan jenis laporan
yang tepat untuk diterbitkan dalam situasi tertentu. Sebagai contoh, jika ada
salah saji yang tidak material dalam laporan keuangan suatu entitas dan
pengaruhnya terhadap periode selanjutnya diperkirakan tidak terlalu berarti,
maka dapatlah dikeluarkan suatu laporan wajar tanpa pengecualian.
Definisi dari materialitas dalam kaitannya dengan akuntansi dan
pelaporan audit adalah suatu salah saji dalam laporan keuangan dapat dianggap material
jika pengetahuan atas salah saji tersebut dapat mempengaruhi keputusan pemakai
laporan keuangan.Dalam menerapkan definisi ini, digunakan tiga tingkatan
materialitas dalam mempertimbangkan jenis laporan yang dibuat:
1.
Jumlahnya tidak material.
Jika terdapat salah saji dalam
laporan keuangan, tetapi cenderung tidak mempengaruhi keputusan pemakai
laporan, salah saji tersebut dianggap tidak material. Dalam hal ini pendapat
tidak wajar dapat diberikan.
2.
Jumlahnya material tetapi tidak
mengganggu laporan keuangan secara keseluruhan.
Tingkat materialitas kedua
terjadi jika salah saji di dalam laporan keuangan dapat mempengaruhi keputusan
pemakai, tetap bpi keseluruhan laporan keuangan tersebut tersaji dengan benar,
sehingga tetap berguna. Jika auditor menyimpulkan bahwa salah saji tersebut
cukup materialtetapi tidak mengganggu laporan keuangan secara keseluruhan,
pendapat yang tepat adalah pendapat wajar dengan pengecualian (menggungakn
“kecuali untuk”)
3.
Jumlah sangat material atau
pengaruhnya sangat meluas sehingga kewajaran lapora keuangan secara keseluruhan
diragukan.
Tingkat materialitas dikatakan tertinggi terjadi apabila para
pengguna informasi laporan keuangan dapat membuat keputusan yang salah jika
mereka mengandalkan laporan keuangan secara keseluruhan. Semakin meluas
pengaruh salah saji, kemungkinan untuk menerbitkan pendapat tidak wajar akan
lebih besar daripada pendapat wajar dengan pengecualian. Tabel mengenai
tingkatan materialitas dan hubungannya dengan jenis opini Auditor dapat di
lihat dari Tabel 1.
Standar
Umum Auditing ketiga berhubungan dengan dengan materialitas karena menyangkut
professional judgement seorang Auditor. Suatu pemeriksaan atau audit harus dilaksanakan oleh seseorang
atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai
auditor. Dalam melaksanakan audit untuk sampai pada suatu pernyatan pendapat,
auditor harus senantiasa bertindak sebagai seorang ahli dalam bidang akuntansi
dan bidang auditing. Pencapaian keahlian tersebut dimulai dengan pendidikan
formalnya, yang diperluas melalui pengalaman-pengalaman selanjutnya dalam
praktik audit. Betapa
pun tingginya kemampuan seseorang dalam bidang-bidang lain, termasuk dalam
bidang bisnis dan keuangan, ia tidak dapat memenuhi persyaratan yang dimaksudkan dalam standar auditing ini, jika
ia tidak memiliki pendidikan serta pengalaman memadai dalam bidang auditing.
Tabel 1: Tingkatan Materialitas dan pengaruhnya terhadap opini
Auditor
TINGKAT MATERIALITAS
|
PENGARUH TERHADAP KEPUTUSAN PEAMAKAI
|
JENIS PENDAPAT
|
Tidak
material
|
Keputusan
biasanya tidak terpengaruh
|
Wajarnya
tanpa pengecualian
|
Material
|
Keputusan
biasanya terpengaruh jika informasi dimaksud penting terhadap keputusan yang
akan diambil. Laporan keuangan keseluruhan dianggap disajikan secara wajar.
|
Wajar
dengan pengecualian
|
Sangat
material
|
Sebagian
besar dari seluruh keputusan yang didasarkan pada laporan keuangan sangat
terpengaruh
|
Pernyataan
tidak memberikan pendapat atau pendapat tidak wajar
|
2.
Bagaimana Auditor menetapkan Materialitas
Langkah – langkah dalam menetapkan materialitas adalah :
1) Menetapkan pertimbangan awal tentang materialitas
Pertimbangan pendahuluan
tentang materialitas adalah jumlah maksimum yang membuat auditor yakin bahwa
laporan keuangan akan salah saji tetapi tidak mempengaruhi keputusan para
pemakai yang bijaksana. Auditor menetapkan pertimbangan pendahuluan tentang materialitas
untuk membantu merencanakan pengumpulan bukti yang tepat. Semakin rendah nilai
uang pertimbangan pendahuluan ini, semakin banyak bukti audit yang dibutuhkan.
Auditor seringkali mengubah
pertimbangan pendahuluan tentang materialitas yang disebutkan dengan
pertimbangan tentang materialitas yang direvisi. Hal ini terjadi karena auditor
memutuskan bahwa pertimbangan pendahuluan terlalu besar atau terlalu kecil.
Faktor faktor yang mempengaruhi
pertimbangan pendahuluan auditor tentang materialitas adalah materialitas yang
memiliki konsep yang relatif, dasar yang diperlukan untuk mengevaluasi
materialitas, dan faktor faktor kualitatif.Pertimbangan awal mengenai
materialitas adalah jumlah maksimum suatu salah saji dalam laporan keuangan
yang menurut pendapat auditor tidak mempengaruhi pengambilan keputusan dari
pemakai. Adapun penetapan materialitas sendiri bertujuan untuk membantu auditor
merencanakan bahan bukti yang cukup.
Seorang auditor eksternal
dituntut untuk memiliki profesionalisme yang tinggi. Alasan yang mendasari
diperlukannya perilaku profesional yang tinggi ada setiap profesi adalah
kebutuhan akan kepercayaan publik terhadap kualitas jasa yang diberikan
profesi, terlepas dari yang dilakukan secara perorangan.
Auditor melakukan pertimbangan
awal tentang tingkat materialitas dalam perencanaan auditnya. Penentuan
materialitas ini, yang seringkali disebut dengan materialitas perencanaan,
mungkin dapat berbeda dengan tingkat materialitas yang digunakan pada saat
pengambilan kesimpulan audit dan dalam mengevaluasi temuan audit karena keadaan yang melingkupi berubah,
informasi tambahan tentang klien dapat diperoleh selama berlangsungnya audit.
Pertimbangan materialitas mencakup
pertimbangan kuantitatif dan kualitatif berkaitan dengan hubungan salah saji
dengan jumlah kunci tertentu dalam laporan keuangan. Pertimbangan kualitatif
berkaitan dengan penyebab salah saji. Suatu salah saji yang secara kuantitatif
tidak material dapat secara kualitatif material, karena penyebab yang
menimbulkan salah saji tersebut
2) Mengalokasikan
pertimbangan pendahuluan tentang materialitas kedalam segmen
Hal ini perlu dilakukan karena
auditor mengumpulkan bukti persegmen dan bukan untuk laporan keuangan secara
keseluruhan yang nantinya akan membantu auditor dalam memutuskan bukti audit
yang tepat yang harus dikumpulkan. Ketika auditor mengalokasikan pertimbangan
pendahuluan tentang materialitas ke saldo akun, materialitas yang dialokasikan
ke saldo akun tertentu itu sebagai salah saji yang dapat ditoleransi.
3) Mengestimasi total salah saji dalam
segmen
Salah saji yang diketahui
adalah salah saji dalam akun yang jumlahnya dapat ditentukan oleh auditor.
Salah saji yang mungkin terbagi menjadi dua jenis yaitu salah saji yang berasal
dari perbedaan antara pertimbangan manajemen dan auditor tentang estimasi saldo
akun, contohnya adalah perbedaan estimasi penyisihan piutang tak tertagih atau
kewajiban garansi. Jenis kedua adalah proyeksi salah saji berdasarkan pengujian
auditor atas sampel dari suatu populasi, contohnya adalah auditor menggunakan
salah saji yang ditemukan yaitu 6 dari jumlah sampel 200 untuk mengestimasi
total salah saji yang mungkin dalam persediaan. Total ini disebut estimasi atau
proyeksi atau ekstrapolasi karena hanya sampel yang diaudit, bukan keseluruhan
populasi.
4) Memperkirakan salah saji
gabungan
Jumlah salah saji yang
diproyeksikan dalam langkah ketiga untuk setiap akun kemudian digabungkan dalam
kertas kerja.
5) Membandingkan salah saji gabungan
dengan pertimbangan pendahuluan atau yang direvisi tentang materialitas
3. Risiko Audit dan
Materialitas
Risiko audit adalah risiko bagi
auditor untuk membuat kesalahan dalam memberikan pendapat atas laporan
keuangan, karena gagal mengungkap salah saji material.
Menurut SA Seksi 312 Risiko
Audit dan Materialitas dalam Pelaksanaan Audit,risiko audit adalah risiko
yang terjadi dalam hal auditor, tanpa disadari, tidak memodifikasi pendapatnya
sebagaimana mestinya, atas suatu laporan keuangan yang mengandung salah saji
material. Semakin pasti auditor dalam menyatakan pendapatnya, semakin rendah
risiko audit yang auditor bersedia untuk menanggungnya.
Auditor merumuskan suatu pendapat
atas laporan keuangan sebagai keseluruhan atas dasar bukti yang diperoleh dari
verivikasi asersi yang berkaitan dengan saldo akun secara individual atau
golongan transaksi. Tujuannya adalah untuk membatasi risiko audit pada tingkat
saldo akun sedemikian rupa sehingga pada akhir proses audit, risiko audit dalam
menyatakan pendapat atas laporan keuangan sebagai keseluruhan akan berada pada
tingkat yang rendah.
3.1 Risiko Audit pada Tingkat
Laporan Keuangan dan Tingkat Saldo Akun
Kenyataan bahwa auditor tidak dapat memberikan jaminan
tentang ketepatan informasi yang disajikan oleh klien dalam laporan keuangan
mengharuskan auditor mempertimbangkan baik materialitas maupun risiko audit, tanpa
disadari, tidak memodifikasi pendapatnya sebagaimana mestinya, atau suatu
laporan keuangan yang mengandung salah saji material. Risiko audit, seperti
materialitas, dibagi menjadi dua bagian:
1. Risiko
Audit Keseluruhan
Pada tahap
perencanaan auditnya, auditor pertama kali harus menentukan risiko audit
keseluruhan yang direncanakan, yang merupakan besarnya risiko yang dapat
ditanggung oleh auditor dalam menyatakan bahwa laporan keuangan disajikan
secara wajar, padahal kenyataannya, laporan keuangan tersebut berisi salah saji
material.
2. Risiko
Audit Individual
Karena audit
mencakup pemeriksaan terhadap akun-akun secara individual, risiko audit
keseluruhan harus dialokasikan kepaada akun-akun yang berkaitan. Risiko audit
individual perlu ditentukan untuk setiap akun karena akun tertentu seringkali
sangat penting karena besar saldonya atau frekuensi transaksi perubahan.
3.2 Unsur Risiko Audit
Terdapat tiga
unsur risiko audit: (1) risiko bawaan, (2) risiko pengendalian, (3)
risiko deteksi.
(1) Risiko
Bawaan, yakni risiko bawaan adalah kerentanan suatu saldo akun atau
golongan transaksi terhadap suatu salah saji material, dengan asumsi bahwa
tidak terdapat pengendalian yang terkait. Risiko salah saji demikian adalah
lebih besar pada saldo akun atau golongan transaksi tertentu dibandingkan
dengan yang lain. Sebagai contoh, perhitungan yang rumit lebih mungkin
disajikan salah jika dibandingkan dengan perhitungan yang sederhana. Uang tunai
lebih mudah dicuri daripada sediaan batu bara. Akun yang terdiri dart jumlah
yang berasal dart estimasi akuntansi cenderung mengandung risiko lebih besar
dibandingkan dengan akun yang sifatnya relatif rutin dan berisi data berupa
fakta. Faktor ekstern juga mempengaruhi risiko bawaan.
(2) Risiko Pengendalian, yakni Risiko
pengendalian adalah risiko yang terjadinya salah saji material dalam suatu
asersi yang tidak dapat dicegah atau dideteksi secara tepat waktu oleh
pengendalian intern entitas. Risiko ini ditentukan oleh evektifitas kebijakan
dan prosedur pengendalian intern untuk mencapai tujuan umum pengendalian intern
yang relevan dengan audit atas laporan keuangan entitas. Risiko pengendalian
tertentu akan selalu ada karena keterbatasan bawaan dalam setiap pengendalian
intern. Sebagai contoh, pengendalian intern mungkin menjadi tidak evektif
karena kelalayan manusia akibat ceroboh atau bosan atau karena adanya kolosi
diantara personel pelaksanaan.
(3) Risiko
Deteksi, yakni Risiko yang disebabkan oleh kegagalan auditor dalam
mendeteksi salah saji material, setelah audit dilaksanakan sesuai dengan
standar auditing. Risiko ini timbul sebagian karena ketidakpastian yang ada
pada waktu auditor tidak memeriksa 100% saldo akun atau golongan transaksi, dan
sebagian lagi karena ketidakpastian lain yang ada, walaupun saldo akun atau
golongan transaksi tersebut diperiksa 100%. Ketidakpastian lain semacam itu
timbul karena auditor mungkin memilih suatu prosedur audit yang tidak sesuai,
menerapkan secara keliru prosedur yang semestinya, atau menafsirkan secara
keliru hasil audit. Ketidakpastian lain ini dapat dikurangi sampai pada tingkat
yang dapat diabaikan melalui perencanaan dan supervisi memadai dan pelaksanaan
praktik audit yang sesuai dengan standar pengendalian mutu.
3.3 Hubungan Antar unsur Risiko
Risiko bawaan, risiko pengendalian,
dan risiko deteksi. Kedua risiko yang disebut terdahulu ada, terlepas dari
dilakukan atau tidaknya audit atas laporan keuangan, sedangkan risiko deteksi
berhubungan dengan prosedur audit dan dapat diubah oleh keputusan auditor itu
sendiri. Risiko deteksi mempunyai hubungan yang terbalik dengan risiko bawaan
dan risiko pengendalian. Semakin kecil risiko bawaan dan risiko pengendalian
yang diyakini oleh auditor, semakin besar risiko deteksi yang dapat diterima.
Sebaliknya, semakin besar adanya risiko bawaan dan risiko pengendalian yang
diyakini auditor, semakin kecil tingkat risiko deteksi yang dapat diterima.
Komponen risiko audit ini dapat
ditentukan secara kuantitatif, seperti dalam bentuk persentase atau secara
nonkuantitatif yang berkisar, misalnya, dari minimum sampai dengan maksimum.
Resiko Deteksi adalah satu-satunya resiko yang bisa dipengaruhi/diatur oleh
auditor, lewat banyak atau sedikitnya bukti dengan penambahan atau pengurangan
prosedur audit . Apabila auditor ingin resiko deteksi kecil, maka perlu lebih
banyak bukti audit/prosedur audit, dan sebaliknya.
4. Hubungan antara Materialitas, Risiko Audit, dan Bukti Audit
Di muka telah diuraikan bahwa
terdapat hubungan berlawanan antara materialitas dan bukti audit. Jika
materialitas rendah-jumlah salah saji yang kecil saja dapat mempengaruhi
keputusan pemakai informasi keuangan-auditor perlu mengumpulkan bukti audit
kompeten dalam jumlah banyak. Sebaliknya, jika materialitas tinggi-jumlah salah
saji besar baru dapat mempengaruhi keputusan pemakai informasi keuangan-auditor
hannya perlu mengumpulkan bukti audit komponen dalam jumlah sedikit. Demikian
pula hubungan antara risiko audit dengan bukti audit. Semakin rendah risiko
audit-auditor bersedia untuk menanggung risiko audit rendah sehingga tingkat
kepastian yang diinginkan oleh auditor adalah tinggi-auditor perlu mengumpulkan
bukti audit kompenen dalam jumlah banyak. Sebaliknya, semakin tinggi risiko
audit-auditor bersedia untuk menanggung risiko audit tinggi sehingga tingkat
kepastian yang diinginkan oleh auditor adalah rendah-auditor perlu mengumpulkan
bukti audit kompenen dalam jumlah kecil saja.
Berbagai kemungkinan hubungan antara
materialitas, bukti audit, dan risiko audit digambarkan sebagai berikut:
a) Jika
auditor mempertahankan risiko audit konstan dan tingkat materialitas dikurangi,
auditor harus menambah jumlah bukti audit yang dikumpulkan.
b) Jika
auditor mempertahankan tingkat materialitas konstan dan mengurangi jumlah bukti
audit yang dikumpulkan, risiko audit menjadi meningkat.
c) Jika
auditor menginginkan untuk mengurangi risiko audit.
5. Celah celah
yang mengurangi kualitas Audit Akuntan Publik
Terkait dengan materialitas, dimana
penentuannya sangat tergantung dari profresionalitas Auditor sendiri, maka
faktor utama yang mungkin bisa mengurangi kualitas audit adalah bersumber dari
level kompetensi, pengalaman dan pengetahuan seorang Auditor. Beberapa hal
dibawah ini adalah faktor faktor yang mempengaruhi kualitas seorang auditor
yang pada akhirnya pasti akan berpengaruh kepada kualitas hasil Audit nya:
1.
Faktor Pengetahuan
SPAP (Standar Profesi Akuntan Publik) tahun 2001 tentang
standar umum, menjelaskan bahwa dalam melakukan audit, auditor harus memiliki
keahlian dan struktur pengetahuan yang cukup. Pengetahuan diukur dari seberapa
tinggi pendidikan seorang auditor karena dengan demikian auditor akan mempunyai
semakin banyak pengetahuan (pandangan) mengenai bidang yang digelutinya
sehingga dapat mengetahui berbagai masalah secara lebih mendalam, selain itu
auditor akan lebih mudah dalam mengikuti perkembangan yang semakin kompleks
(Meinhard et.al, 1987 dalam Harhinto, 2004:35). Adapun secara umum ada 5
pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang auditor (Kusharyanti, 2003), yaitu
: (1) Pengetahuan pengauditan umum, (2) Pengetahuan area fungsional, (3)
Pengetahuan mengenai isu- isu akuntansi yang paling baru, (4) Pengetahuan
mengenai industri khusus, (5) Pengetahuan mengenai bisnis umum serta
penyelesaian masalah. Menurut Brown dan Stanner (1983) dalam Mardisar dan Sari
(2007), perbedaan pengetahuan di antara auditor akan berpengaruh terhadap cara
auditor menyelesaikan sebuah pekerjaan.
2. Faktor Integritas
Integritas merupakan kualitas yang
menjadikan timbulnya kepercayaan masyarakat dan tatanan nilai tertinggi bagi
anggota profesi dalam menguji semua keputusannya. Integritas mengharuskan
auditor dalam segala hal, jujur dan terus terang dalam batasan objek
pemeriksaan. Pelayanan kepada masyarakat dan kepercayaan dari masyarakat tidak
dapat dikalahkan demi kepentingan dan keuntungan pribadi. Penelitian yang
dilakukan Mabruri dan Winarna (2010) menyatakan bahwa kualitas audit dapat
dicapai jika auditor memiliki integritas yang baik. Sunarto (2003) dalam
Sukriah, dkk. (2009) menyatakan bahwa integritas dapat menerima kesalahan yang
tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak dapat menerima
kecurangan prinsip. Wibowo (2006) mengemukakan integritas auditor menguatkan
kepercayaan dan karenanya menjadi dasar bagi pengandalan atas keputusan mereka.
3. Faktor Pengalaman Kerja
Pengalaman kerja seseorang
menunjukkan jenis-jenis pekerjaan yang pernah dilakukan seseorang dan
memberikan peluang yang besar bagi seseorang untuk melakukan pekerjaan yang
lebih baik. Semakin luas pengalaman kerja seseorang, semakin trampil melakukan
pekerjaan dan semakin sempurna pola berpikir dan sikap dalam bertindak untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Asih, 2006). Menurut Tubbs (1992) dalam
Mayangsari (2003) auditor yang berpengalaman memiliki keunggulan dalam hal :
(1.) Mendeteksi kesalahan, (2.) Memahami kesalahan secara akurat, (3.) Mencari
penyebab kesalahan. Auditor yang tidak berpengalaman akan melakukan
atribusi kesalahan lebih besar dibandingkan dengan auditor yang berpengalaman,
sehingga dapat mempengaruhi kualitas audit (nataline, 2007). Menurut Libby dan
Trotman dalam Jurnal Maksi Vol 1 (2002:5), seorang auditor profesional harus
mempunyai pengalaman yang cukup tentang tugas dan tanggung jawabnya. Pengalaman
auditor akan menjadi bahan pertimbangan yang baik dalam mengambil keputusan
dalam tugasnya.
4. Faktor Obyektivitas
Obyektifitas merupakan sikap auditor
untuk dapat bertindak adil, tidak terpengaruh oleh hubungan kerjasama dan tidak
memihak kepentingan siapapun sehingga auditor dapat diandalkan dan dipercaya.
Auditor harus dapat mengungkapkan kondisi sesuai fakta yaitu dengan
mengemukakan pendapat apa adanya, tidak mencari-cari kesalahan, mempertahankan
kriteria dan menggunakan pikiran yang logis. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Sukriah, Akram dan Inapty (2009), indikator yang digunakan untuk
mengukur obyektifitas yaitu: (1). Bebas dari benturan kepentingan (2).
Pengungkapan kondisi sesuai fakta.
Penelitian yang dilakukan Wibowo
(2006) menyebutkan auditor yang memiliki obyektifitas yaitu auditor yang dapat
melakukan penilaian yang seimbang atas semua kondisi yang relevan dan tidak
terpengaruh oleh kepentingannya sendiri atau kepentingan orang lain dalam
membuat keputusannya. Mabruri dan Winarna (2010) menyatakan semakin tinggi
obyektifitas auditor, maka semakin baik kualitas auditnya. Hubungan keuangan
dengan klien dapat mempengaruhi obyektifitas dan dapat mengakibatkan pihak
ketiga berkesimpulan bahwa obyektifitas auditor tidak dapat dipertahankan.
Dengan adanya kepentingan keuangan, seorang auditor jelas berkepentingan dengan
laporan hasil pemeriksaan yang diterbitkan (Sukriah dkk., 2009). Standar umum
dalam Standar Audit APIP menyatakan bahwa dengan prinsip obyektifitas
mensyaratkan agar auditor melaksanakan audit dengan jujur dan tidak
mengkompromikan kualitas. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat obyektifitas
auditor maka semakin baik kualitas hasil pemeriksaannya.
5. Faktor Locus of Control
Locus of control (LoC) merupakan
konsep yang pertama kali dikemukakan oleh Rotter (1966). Locus of control
terbagi atas locus of control internal dan locus of control eksternal. Locus of
control internal mengacu pada individu yang percaya bahwa suatu hasil
tergantung pada usaha dan kerja keras seseorang sedangkan locus of control
eksternal mengacu pada individu yang menganggap bahwa suatu hasil ditentukan
oleh faktor dari luar individu tersebut, seperti nasib, keberuntungan,
kesempatan dan faktor lain yang tidak dapat diprediksi (Reiss & Mitra,
1998).
Penelitian sebelumnya yang
menyelidiki locus of control dan perilaku etis mahasiswa atau auditor (Jones
& Kavanagh, 1996; Reiss & Mitra, 1998; Fauzi, 2001; Nugrahaningsih,
2005; Ustadi & Utami, 2005; Hastuti, 2007) menunjukkan bahwa locus of
control memiliki pengaruh terhadap perilaku etis, dimana seseorang dengan locus
of control internal cenderung berperilaku lebih etis dibandingkan dengan
seseorang dengan locus of control ekternal.
6. Faktor Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional (EQ) merupakan
kemampuan untuk mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain,
memotivasi diri sendiri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan
emosi dan menunda kepuasan serta mengelola emosi diri sendiri dan dengan orang
lain (Goleman, 2005). Maryani dan Ludigdo (2001) melakukan penelitian mengenai
faktor-faktor yang memengaruhi sikap dan perilaku etis akuntan. Hasil
penelitian Maryani dan Ludigdo (2001) menunjukkan bahwa hanya faktor
religiusitas (kecerdasan spiritual) dan kecerdasan emosional memengaruhi sikap
etis akuntan. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ramly, Chai, dan
Lung (2008) yang menyimpulkan religiusitas (kecerdasan spiritual) berpengaruh
positif terhadap perilaku etis mahasiswa universitas di Malaysia.
7. Faktor Skeptitisme
Skeptisisme profesional auditor
adalah suatu sikap yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan
melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit. Skeptisisme profesional
auditor tersirat di dalam literatur dengan adanya keharusan auditor untuk
mengevaluasi kemungkinan terjadinya kecurangan atau penyalahgunaan wewenang
yang material yang terjadi di dalam perusahaan klien (Loebbecke et al 1989).
Kee dan Knox’s (1970) dalam Margfirah dan Syahril (2008), dalam model
“Professional Scepticism Auditor” menyatakan bahwa skeptisisme profesional
auditor dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu; faktor-faktor kecondongan
etika, faktor-faktor situasi dan pengalaman. Semakin skeptis seorang auditor
maka semakin mengurangi tingkat kesalahan dalam melakukan audit (Bell et al,
2005). Carpenter et al (2002) menyatakan bahwa auditor yang kurang memiliki
sikap skeptisisme profesional akan menyebabkan penurunan kualitas audit. Ida
Suraida (2005), Marghfirah dan Syahril (2008) menguji hubungan skeptisisme
profesional auditor dengan ketepatan pemberian opini auditor oleh akuntan
publik dan apakah ada hubungan situasi audit, etika, pengalaman, dan keahlian
audit dengan ketepatan pemberian opini auditor oleh akuntan publik. Hasil
penelitian mereka menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
skeptisisme profesional auditor dan ketepatan pemberian opini auditor oleh
akuntan publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar